Bermula dari sebuah rumah sederhana di kawasan Bantargebang, tinggal seorang pria asal Pondok Soga bernama Ust. H. Muhammad Djamil, yang lebih akrab disapa Pak Djamil. Di rumah itulah, beliau mulai membuka kegiatan belajar-mengajar Al-Qur’an secara benar dan tertib. Dengan penuh semangat, Pak Djamil mengetuk pintu-pintu rumah tetangganya, mengajak mereka untuk bersama-sama belajar Al-Qur’an. Awalnya hanya satu anak yang datang, namun seiring waktu, semakin banyak anak-anak berdatangan hingga rumah kecil itu dipenuhi oleh semangat mereka yang ingin belajar mengaji. Semua itu terjadi pada awal tahun 1970-an.
Pak Djamil yang saat itu merupakan pendatang di Bantargebang, menikah dengan Ustzh. Hj. Nur Asiah binti H. Hasan Basri pada tahun 1969. Di awal pernikahan, beliau belum langsung membuka pengajian, karena belum banyak yang mengenal kemampuan beliau dalam ilmu Al-Qur’an. Sebagai menantu, beliau justru lebih dulu membantu mertuanya, Bapak H. Hasan Basri bin Idon, bekerja di sawah.
Hal itu diceritakan oleh sang istri, yang akrab disapa Mamah. Ia mengenang masa-masa itu dengan penuh haru—melihat suaminya pulang dalam keadaan kurus, kulitnya menghitam karena seharian terpapar matahari di sawah. Namun, setiap kali Mamah menunjukkan kesedihannya, Bapak hanya tersenyum lembut, menenangkan dengan kesabaran, dan memberi pelajaran hidup tentang arti ketulusan dan keikhlasan.
Barulah pada awal tahun 70-an, Bapak mulai membuka pengajian di rumah mereka. Masyarakat pun mulai mengenal siapa sebenarnya beliau: seorang guru Al-Qur’an yang memiliki suara khas dan tajwid yang fasih, terutama dalam pelafalan Makharijul Huruf yang tepat sesuai hak-nya. Keistimewaan itu menjadi bukti bahwa beliau bukan orang biasa. Bukan seorang petani, melainkan seorang pendidik yang layak membimbing umat dalam ilmu Al-Qur’an.
Sejak saat itu, rumah sederhana di Bantargebang itu menjadi tempat tumbuhnya cahaya ilmu. Dari situlah, perjalanan panjang dakwah dan pengajaran Al-Qur’an oleh Ust. H. Muhammad Djamil dimulai.
Ust. H. Muhammad Djamil lahir pada 7 Agustus 1930 di Pondok Soga, sebuah daerah di utara Bekasi yang menyimpan banyak sejarah keislaman. Beliau merupakan putra bungsu dari pasangan KH. Abdul Rohim bin H. Jimin—seorang tokoh agama terpandang di wilayah Pondok Soga—dengan Nyak Saih binti Hawa.
KH. Abdul Rohim, atau yang dikenal masyarakat dengan panggilan Engkong Drahim, adalah ulama kharismatik yang memiliki kedekatan khusus dengan ulama besar Bekasi, Almaghfurlah KH. Noer Ali bin H. Anwar. Meskipun secara usia lebih tua, KH. Abdul Rohim kerap menjadi teman diskusi KH. Noer Ali dalam berbagai persoalan keagamaan. Kedekatan antar keluarga ini juga terlihat dalam hubungan pernikahan antara adik KH. Noer Ali, yaitu KH. Marzuki bin H. Anwar, dengan putri kelima KH. Abdul Rohim, yakni Hj. Maryamah.
Dari pernikahannya dengan Nyak Saih, KH. Abdul Rohim dikaruniai delapan orang anak: (1) Fatmah; (2) Hj. Tihamah; (3) H. Usman; (4) H. Marzuki; (5) Hj. Maryamah; (6) Rohmanih; (7) Abd. Malik; dan (8) H. Muhammad Djamil.
Sejak kecil, Djamil tumbuh dan bermain di lingkungan religius Pondok Soga. Ia pertama kali belajar membaca Al-Qur’an langsung dari ayahandanya. Bakatnya dalam melantunkan ayat suci sudah tampak sejak dini—tajwidnya baik, suaranya jernih, dan pengucapan huruf-hurufnya sesuai makhraj. Melihat potensi tersebut, sang ayah kemudian mengarahkan Djamil muda untuk melanjutkan pendidikan ke pesantren.
Ketika usianya beranjak remaja, beliau dikirim untuk menimba ilmu di Pesantren Bahagia, sebuah pesantren yang didirikan oleh KH. Noer Ali sebelum berdirinya Pondok Pesantren Attaqwa. Di sanalah wawasan keislaman Muhammad Djamil semakin matang, dan semangatnya untuk berdakwah mulai tumbuh dengan kuat.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Pesantren Bahagia, Muhammad Djamil mulai diperbantukan oleh ayahnya, KH. Abdul Rohim, untuk mengajar Al-Qur’an di Masjid Al-Mujahidin, Pondok Soga. Di tempat itulah beliau mulai menunjukkan kemampuannya dalam mengajar—tajam dalam menyampaikan materi, tegas dalam membimbing murid, namun tetap sabar dan penuh kasih.
Kepiawaiannya dalam mengajarkan Al-Qur’an membuat namanya cepat dikenal. Murid-murid mulai berdatangan, dan permintaan untuk mengajar pun semakin banyak. Salah satu tempat yang juga mempercayakan beliau sebagai pengajar adalah Pondok Dua, menandakan bahwa kiprahnya dalam dunia pendidikan Al-Qur’an mulai meluas.
Sebagai santri, putra bungsu dari tokoh besar Pondok Soga dan berasal dari keluarga terpandang, Muhammad Djamil menjadi sosok yang diidamkan banyak orang tua sebagai calon menantu. Tak heran jika seorang tokoh masyarakat dari Buni, bernama Engkong Radih, mulai menjalin komunikasi dengan KH. Abdul Rohim untuk menjodohkan putrinya dengan Muhammad Djamil. Kala itu, daerah Buni belum memiliki seorang santri, sehingga kehadiran Muhammad Djamil dianggap sebagai anugerah.
Akhirnya, Muhammad Djamil pun menikah dengan putri Engkong Radih. Dari pernikahan tersebut, beliau dikaruniai dua orang anak: (1) Zahroh; (2) Zahroin;
Muhammad Djamil muda dikenal bukan hanya sebagai sosok cerdas dan religius, tetapi juga pemberani. Ia tak gentar menghadapi tantangan, termasuk dari mereka yang mencoba mengganggu keamanan atau merendahkan umat. Oleh para gurunya, beliau juga dibekali ilmu kanuragan dan kebatinan, sebuah bekal yang umum diberikan di masa itu sebagai bentuk perlindungan diri dan masyarakat—terutama dalam menghadapi ancaman fisik maupun non-fisik yang kerap muncul di masa penuh gejolak.
Dari sisi keilmuan, sanad pendidikan Ust. H. Muhammad Djamil dapat dipertanggungjawabkan. Beliau pernah menimba ilmu secara langsung dari KH. Noer Ali, salah satu ulama besar di Bekasi yang sangat dihormati. Beliau juga memiliki sanad Al-Qur’an yang kuat, serta penguasaan dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu batin yang diserap melalui jalur guru-guru terdahulu.
Gabungan antara kecakapan mengajar, kedalaman ilmu, ketegasan sikap dan kerendahan hati menjadikan Ust. H. Muhammad Djamil sebagai sosok yang sangat dihormati sekaligus disayangi oleh para murid dan masyarakat sekitarnya.
Pernikahan Ust. H. Muhammad Djamil dengan Ustzh. Hj. Asiah bukanlah pernikahan pertamanya. Di masa mudanya, beliau pernah menikah dengan seorang gadis dari Buni Bakti dan dikaruniai dua orang anak: (1) Zahroh; (2) Zahroin.
Namun, karena situasi yang semakin rumit dan tidak memungkinkan untuk mempertahankan rumah tangga, pernikahan tersebut harus berakhir. Perceraian itu bukan kehendaknya, namun keputusan tersebut terpaksa diambil setelah orang tua dari kedua belah pihak ikut turun tangan.
Beberapa tahun kemudian, Pak Djamil kembali menikah dengan seorang wanita asal Pondok Gede. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai seorang putri yang diberi nama Acih. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Tak lama setelah melahirkan, istrinya wafat, meninggalkan bayi kecil yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Duka itu begitu dalam, hingga Pak Djamil dikabarkan sempat merantau ke Sumatera selama beberapa tahun untuk menenangkan diri. Dengan berat hati, beliau meninggalkan Acih yang masih bayi.
Hingga akhirnya, pada tahun 1969, Ust. H. Muhammad Djamil menikah dengan Ustzh. Hj. Asiah, seorang wanita asal Bantargebang. Pernikahan ini menjadi pernikahan ketiganya, dan menjadi awal dari perjalanan baru yang penuh perjuangan dan pengabdian.
Pada awal tahun 1970-an, kondisi Bantargebang masih sangat terbatas dari segi pendidikan agama, khususnya dalam pembelajaran Al-Qur’an. Hanya ada segelintir ustaz lokal yang aktif mengajar, di antaranya adalah KH. M. Bakir bin H. Sahamad (Mang Bakir) dan Ust. H. Maud (Mang Maud), ayah dari Ust. H. Romli. Menyadari kekosongan ini, Pak Djamil merasa terpanggil untuk mengamalkan ilmu Al-Qur’an yang telah lama beliau pelajari.
Salah satu murid beliau bahkan mengenang, bahwa sejak saat itu nama Ust. Djamil mulai dikenal sebagai salah satu pengajar Al-Qur’an di Bantargebang, sejajar dengan para tokoh setempat.
Namun perjuangan beliau tak berhenti pada pengajaran semata. Di masa itu, Indonesia tengah dilanda krisis ekonomi. Dampaknya begitu terasa, termasuk dalam kehidupan rumah tangga beliau bersama Ustazah Hj. Asiah. Kehidupan sangat terbatas, terutama ketika anak pertama mereka, Ishlahuddin, lahir. Kondisi ekonomi yang sulit membuat sang anak tidak mendapat perawatan medis yang layak.
Meski demikian, semangat beliau untuk mengajar tak pernah padam. Pada tahun 1973, Ustaz H. Muhammad Djamil mulai mengajar di MI Al-Muhtadin. Sejak saat itu, murid-murid mulai berdatangan untuk belajar mengaji. Perlahan namun pasti, pengaruh dan peran beliau dalam masyarakat semakin besar, dan kehidupan ekonomi keluarga pun mulai membaik.
Pada tanggal 12 Desember 1992 berkat prakarsa kakak Ipar beliau yang bernama H. Muhammad Dudung Bin H. Hasan Basri, Ust. H. Muhammad Djamil membangun MT. ATTAQWA. Nama ATTAQWA adalah bentuk tabarukkan beliau kepada sang Guru yaitu KH. Noer Ali yang mendirikan Pesantren ATTAQWA di Ujungharapan. Beliau mencanangkan ketika itu dengan sebutan Musholla Attaqwa, kendati sudah ada Musholla Assa'adah pimpinan Ust. H. Muhammad Bakir. Musholla ATTAQWA memulai aktifitasnya dengan melanjutkan pengajaaran Al-Qur'an yang semula dilaksanakan di rumah beliau dan dialihkan ke musholla. Hadirnya Musholla ATTAQWA sangat bermanfaat karena semakin meningkatnya jumlah murid saat itu. Pada tahun yang sama, kemudian dibukalah pengajian khusus Ibu-Ibu yang diadakan pada hari selasa ba'da shubuh, sementara ba'da maghrib pengajian anak-anak.
Demikianlah, Ust. H. Muhammad Djamil dan Ustzh. Hj. Nurasiah Djamil terus berkiprah dalam syiar Islam dan membangun umat. Beliau berdua adalah pasangan ideal kala itu. Keduanya aktif di masyarakat dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan seperti : Pengajian, Yasinan, Ratib, Maulid dan masih banyak lagi. Bahkan Mamah, begitulah beliau akrab disapa, termasuk perintis pengajian di beberapa tempat yang awam agama, seperti daerah Padurenan dan yang lainnya.
Pada tanggal 23 Juli 1997, sang guru ngaji itupun akhirnya dipanggil oleh Allah SWT. Tugas mulia yang beliau lakukan seiring tahun sudah usai. Beliau sering bilang kepada istrinya. "Mamah jangan capek-capek ya, biar Bapak aja yang kerjain. Biar Bapak aja yang mati duluan, mamah mah belakangan. Anak-anak banyak mamah bisa ngurusnya". Ujar Pria asal Pondok Soga itu sambil tersenyum kepada istrinya. Mamah kala itu tidak menanggapi serius ucapan itu. Tapi siapa yang mengira kalau ucapannya itu terbukti.
Kiprah Ust. H. Muhammad Djamil dalam dunia pendidikan banyak yang mengakuinya. Begitulah penuturan dari beberapa murid beliau yang masih ada. Sosoknya yang ke-Bapak-an juga tegas dalam bertindak tapi dicintai oleh banyak murid-muridnya. Sebagai seorang kepala keluarga, beliau juga berhasil menjadi sosok panutan dari Istri dan anak-anaknya.
Adalah Ust. H. Muhammad Djamil bersama ke tiga istrinya dikaruniai 11 orang putra-putri. Sesuai dengan harapannya, semua anak-anaknya beliau masih rukun menjalin silaturahim hingga kini meski terpaut jarak dan waktu. Semoga seterusnya silaturahim ini akan terus terjaga seiring dengan harapan dan cita-cita orang tua yaitu melanjutkan perjuangannya.
Pernikahan Ust. H. Muhammad Djamil dengan Ibunda Ustzh. Hj. Asiah Binti H. Hasan Basri :
dikaruniai 8 orang putra-putri, yaitu :
Pernikahan Ust. H. Muhammad Djamil dengan Buni Bakti :
dikaruniai 2 orang putra-putri, yaitu :
Pernikahan Ust. H. Muhammad Djamil dengan Pondok Gede :
dikaruniai 1 orang putri, yaitu :
Masa pandemi Covid-19 tahun 2021, Ust. Ishlahuddin dan Ustzh. Hj. Asiah Djamil berpulang ke Rahmatullah. Mereka tengah tersenyum bahagia sekarang, karena sudah menuai apa yang beliau kerjakan semasa hidupnya. Sementara kami yang masih hidup harus terus berupaya mengemban amanah ini demi Syiar Allah dan Agama Islam. Puji Syukur Alhamdulillah, pengajian di MT. ATTAQWA masih berjalan hingga kini. Bahkan sudah muncul pengajian baru yang dahulu belum ada. Semoga apa yang kami lakukan adalah sebagai bentuk penyempuraan dari apa yang sudah ditanam oleh orang tua kami.
Pada 12 Desember 1992, MT. ATTAQWA HMD didirikan oleh Ust. H. Muhammad Djamil Bin H. Abd. Rohim
Bapak wafat pada 23 Juli 1997. Kemudian dilanjutkan oleh Mamah (Ustzh Hj. Nurasiah Djamil) dari tahun 1997 - 2021. Akhirnya Mamahpun dipanggil oleh Allah pada 16 Juli 2021.
Selama ditinggalkan Bapak, Mamah aktif mengajar di Majlis Ta'lim sambil membimbing putra-putrinya yang kelak akan diperuntukkan untuk melanjutkan MT. ATTAQWA HMD.
Bapak, Mamah dan Aa Ujang, do'akan kami supaya bisa mengemban amanah melanjutkan cita-cita membangun umat dengan wadah MT. ATTAQWA HMD.
Masa Bakti mengajar :
1970 - 1997
Masa Bakti mengajar :
1970 - 2021
Masa Bakti mengajar :
2008 - sekarang
Masa Bakti mengajar :
2020 - sekarang